Buku Sekolah Elektronik (BSE) merupakan salah satu terobosan kebijakan
pemerintah yang patut dipuji. Idenya sederhana saja. Pemerintah (Kemdiknas)
membeli hak cipta buku-buku sekolah di berbagai jenjang pendidikan (SD, SLTP,
SLTA, termasuk SMK), kemudian buku tersebut diunggah ke website yang sengaja
dibuat http://bse.kemdiknas.go.id sehingga bisa diunduh dan diperbanyak oleh
siapa saja secara gratis.
Kalau sudah diunduh dan dicetak, mau dijual ke orang
lain juga boleh, asal tidak melampaui harga maksimalnya. Harapannya adalah
anak-anak Indonesia tidak lagi menghadapi masalah dalam membeli buku. Hingga
saat ini sudah lebih dari 900 judul buku yang tersedia di situs BSE.
ü
Sayangnya, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan
bahwa penggunaan BSE ternyata masih sangat terbatas. Sebenarnya tidak terlalu
mengejutkan, karena memang tidak ada kewajiban untuk memakainya, yang ada hanya
anjuran. Sekolah/guru lah yang pada akhirnya menentukan buku yang dipakai di
sekolah, bukan siswa atau orang tuanya. Jadi, meskipun sudah ada himbauan agar
sekolah memakai BSE, tapi kalau guru/sekolah memutuskan untuk memakai buku lain
(yang tidak ada dalam BSE), maka siswa/orang tua tidak akan bisa berbuat
apa-apa kecuali membelinya. Dalam kasus seperti itu, yang tidak punya uang akan
terpaksa belajar tanpa memakai buku.
ü
Meskipun jelas-jelas memberatkan orang tua, dan
membiarkan BSE mubazir, langkah itu banyak diambil oleh para guru/sekolah,
terutama karena iming-iming diskon yang diberikan oleh penerbit. Alasan ‘resmi’
yang disampaikan oleh guru/sekolah tentu saja bukan itu, tapi saya pribadi
tidak percaya. Saya juga tidak percaya, kalau guru/sekolah bilang “tidak pernah
menjual buku” atau mendapatkan keuntungan dari pengadaan buku pelajaran, karena
‘resmi’-nya memang bukan sekolah yang menjual, tapi koperasi sekolah. Tidak
perlu menjadi jenius untuk tahu kaitan antara koperasi sekolah dengan para guru
dan pengelola sekolah.
ü
Selain persoalan minimnya ‘niat baik’ dari pihak
guru/sekolah, rendahnya penggunaan BSE juga dipicu oleh kesalahan pemahaman
tentang cara mengakses dan menggunakan BSE. Hingga saat ini ternyata masih
cukup banyak yang mengira BSE hanya bisa diakses dan dibaca dengan menggunakan
komputer (baik secara online maupun offline). Akibatnya,
banyak sekolah/guru yang tidak memakai BSE dengan alasan tidak tersedia
komputer atau jaringan internet untuk membacanya. Padahal pengertian “buku
elektronik” dalam hal ini adalah buku yang disediakan secara
elektronik, bukan buku yang harus dibaca secara elektronik.
ü
Seperti yang disebut di awal, BSE memang
tersedia secara elektronik, tetapi dapat diunduh, dicetak dan diperbanyak oleh
siapa saja. Jadi untuk satu sekolah, misalnya, tidak perlu semua orang
mengunduh. Kalau sarana komputer/internet terbatas, cukup satu orang (guru)
saja yang mengunduh, kemudian mencetak dan memperbanyak untuk keperluan siswa.
Idealnya, pencetakan dan perbanyakan buku itu bisa dibiayai dengan dana BOS
(Bantuan Operasional Sekolah). Kalau pun tidak, siswa yang berminat dan tidak
mau mengunduh sendiri bisa diminta membeli di Koperasi Sekolah dengan harga
sangat murah (untuk ongkos fotokopi dan penjilidan, tidak sampai Rp 15 ribu per
buku).
ü
Jadi kalau guru/sekolah memang punya niat baik,
hal itu sangat mudah dilakukan. Kalau tidak punya komputer atau sambungan
internet, mereka bisa datang ke warnet untuk mengunduh dan kalau perlu
mencetaknya sekalian.
ü
Tapi justru itulah persoalannya.. Dalam beberapa
kasus, ada kesalahan dalam memahami BSE. Dalam banyak kasus, niat baik untuk
menggunakan BSE memang tidak ada.
ü
Sebagai ilustrasi, kakak saya merupakan seorang
guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA N, dan dia adalah satu-satunya guru di
sekolah itu yang mengajar dengan menggunakan BSE. Dia juga membuat beberapa
salinan buku itu (dengan dana sekolah) untuk perpustakaan. Bukannya didukung,
dia malah dimarahi oleh Kepala Sekolah, karena dianggap melanggar aturan.
Setelah menunjukkan salinan peraturan menteri yang bukan hanya tidak melarang,
tapi juga menganjurkan agar guru/sekolah memperbanyak BSE untuk keperluan
siswa, Kepala Sekolah tidak lagi memarahinya. Tapi tetap saja, tidak ada guru
lain yang mengikuti langkahnya menggunakan BSE..
ü
Kalau begini terus, maka kebijakan pemerintah
untuk membeli hak cipta dan menyediakannya secara gratis melalui BSE hasilnya
tidak akan optimal..
ü
Quo vadis BSE? Atau perlu kebijakan yang
mewajibkan guru/sekolah untuk menggunakan BSE?
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar