EBOOK KURIKULUM KTSP 2006, TERBITAN TAHUN 2008-2009

JUMLAH BUKU DALAM DVD-BSE: 1119 DARI 1331 (YANG TELAH DIUPLOAD DI WEBSITE KEMDIKBUD).

Dapatkan DVD-BSE dengan harga Terjangkau di DVD-BSE WEBSITE. Lebih praktis, Lebih hemat biaya, tidak susah-susah Download di internet. DAN PASTI PUAS. Berminat?? Klik di DVD-BSE atau Hubungi 081338153217

Dan Dapatkan Pula DVD BSE Kurikulum 2013 sebagai bonus pembelian DVD BSE paket Komplit.

Cari Blog Ini

Kemelut dalam Industri Penerbitan Buku Sekolah

Diposkan oleh IBOEKOE pada 16 Sep 2010 | View Comments
Kemelut dalam Indusri Penerbitan Buku Sekolah dan Bagaimana Penerbit Mengatasinya
June 26, 2010 · Leave a Comment
Oleh: Mula Harahap (Notulis)
Pada hari Jumat 4 Juni 2010, bertempat di kantor IKAPI DKI Jakara telah berlangsung sebuah diskusi “round table” yang membicarakan permasalahan di seputar industri penerbitan buku sekolah.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Pengurus IKAPI DKI Jakarta, dan yang dihadiri oleh sejumlah pengamat industri penerbitan buku dan praktisi industri penerbitan buku sekolah ini, adalah diskusi pertama dari serangkaian diskusi untuk memetakan permasalahan yang dihadapi oleh industri penerbitan buku Indonesia, serta mencari pikiran-pikiran bagaimana mengatasi permasalahan tersebut.
Berikut ini adalah rangkuman dari diskusi tersebut. Mudah-mudahan dari rangkuman diskusi awal ini para penerbit anggota IKAPI bisa memahami persoalan secara lebih baik dan bisa memuncukan gagasan dan pikiran untuk perbaikan di masa mendatang.
“Scheme” Buku “BSE” dan Larangan Menjual Buku Lain di Sekolah
Kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional untuk membeli hak cipta buku-buku teks pelajaran (pada awalnya “scheme” ini dimaksudkan untuk menyediakan buku yang bisa diunduh melalui jaringan internet dan karenanya dikenal sebagai Buku Sekolah Elektronik atau BSE) dan membebaskan siapa saja untuk menggandakan buku-buku tersebut sepanjang harga jualnya tidak melebihi harga yang telah dipatok oleh Pemerintah, serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang melarang sekolah untuk membeli buku apapun dari penerbit kecuali buku teks pelajaran yang hak ciptanya telah dipegang oleh Pemerintah itu, tentu merupakan pukulan besar bagi para penerbit.
Pasar bagi buku-buku teks pelajaran biasa menjadi tertutup. Oleh karena itu banyak penerbit buku sekolah yang terpaksa mengurangi kegiatannya, dan pada gilirannya mengurangi karyawannya. Memang beberapa penerbit buku sekolah masih bisa “bertahan” dengan “main kucing-kucingan” menggiatkan penjualan buku-bukunya di sekolah swasta yang sampai saat ini masih banyak yang tidak terlalu memperdulikan ketentuan tersebut. Kemudian para penerbit juga masih bisa—kembali dengan “main kucing-kucingan–memanfaatkan peluang untuk menjual buku teks pelajarannya, baik di sekolah negeri maupun swasta, yang edisi “BSE” atau edisi murahnya belum tersedia di pasar.
Penerbit Menjadi “Packager”
Tapi kebijakan populis menyediakan buku “BSE” atau buku murah yang hak ciptanya dipegang oleh Pemerintah ini disinyalir tidak akan bisa dibendung lagi. Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi semua mata pelajaran (SD, SMP dan SMA) akan memliki edisi murahnya. Dan setiap mata pelajaran bukan saja akan memiliki satu judul buku; tapi beberapa judul buku.
Oleh karena itu upaya lain yang bisa dilakukan oleh penerbit buku sekolah untuk bisa bertahan adalah ikut menciptakan buku teks pelajaran untuk ditawarkan agar hak ciptanya dibeli oleh Pemerintah dan buku tersebut masuk dalam “scheme” buku “BSE”.
Tapi oleh para penerbit upaya ini dirasakan bukanlah sebagai sebuah solusi yang langgeng. Ini hanyalah tindakan darurat untuk bertahan hidup. Harga pembelian–atau lebih tepatnya penyewaan hak cipta untuk jangka waktu 15 tahun—itu tidaklah terlalu besar. Dahulu Pemerintah memang masih bersedia membeli hak cipta sebuah edisi dengan harga Rp. 150 juta.
Tapi dari tahun ke tahun harga tersebut cenderung menurun terus. Bahkan karena banyaknya fihak (penerbit maupun pengarang) yang menawarkan hak cipta buku pelajarannya agar dibeli oleh Pemerintah, maka Pemerintah berada dalam posisi tawar yang kuat. Menurut kabar bahwa kini ada buku yang hak ciptanya bisa dibeli Pemerintah hanya dengan harga Rp. 25 juta. Bila dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh penerbit jika ia memproduksi dan menjual bukunya secara biasa di pasar, maka pendapatan yang diperoleh penerbit dari menjual hak cipta bukunya, tentu saja sangat kecil.
Penerbit Yang Hanya Menjadi Pencetak
Sebenarnya penerbit bisa juga ikut “bermain” dengan menerbitkan buku-buku yang hak ciptanya telah dibeli oleh Pemerintah itu. Apalagi, sebagaimana telah diuraikan di atas, hak cipta tersebut bebas dimanfaakan oleh siapa pun (penerbit, percetakan, distributor dsb) untuk ikut menerbitkan buku edisi murah tersebut).
Tapi disebabkan semua pihak bisa menerbitkan buku “BSE” yang sama asalkan harga jualnya tidak melebii yang telah dipatok oleh emerintah, maka pasar untuk buku tersebut menjadi sangat sempit. Dan pasar yang sempit tersebut atau oplah yang kecil pada gilirannya menyebabkan penerbit sukar untuk mengikuti harga yang telah dipatok oleh Pemerintah tersebut. Atau, kalau pun penerbit tetap juga menerbitkannya, maka keuntungan yang akan diperolehnya sangat jauh dari memadai. Oleh karena itulah maka kini hanya ada satu atau dua perusahaan besar non-penerbit buku, yang memiliki modal besar dan jaringan distribusi luas, yang mampu menerbitkan buku edisi murah tersebut. Dan bila ditinjau dari asas pemertaaan dan keadilan, maka kenyataan ini tentu sudah tidak sehat.
Hal lain yang bisa dilakukan oleh penerbit buku sekolah pada masa kirisis ini ialah mencoba tetap menerbitkan buku teks pelajaran, buku pelengkap dsb dan menjualnya melalui saluran toko buku. (Perlu diingat bahwa tidak ada larangan bagi sekolah untuk merekomendasikan sebuah buku kepada orangtua dan untuk dibeli di toko buku). Tapi mengingat bahwa buku murah atau buku “BSE” itu bebas atau tidak dilarang untuk dijual di sekolah, maka tentu saja akan kecil sekali kemungkinan ada murid atau orangtua yang membeli buku biasa terbitan para penerbit itu di toko buku. Apatah lagi dewasa ini banyak sekali dana-dana proyek Pemerintah (APBN atau APBD) yang dipergunakan untuk membeli buku-buku murah tersebut. (Bahkan dalam banyak kasus, sekolah acapkali menerima buku “BSE” yang judul maupun eksemplarnya melebihi kebutuhan.
Pergeseran Paradigma dalam Industri Penerbitan Buku
Kebijakan Pemerintah untuk melarang penjualan buku oleh penerbit di sekolah (kecuali buku murah atau buku “BSE”), kebijakan penyediaan buku murah atau buku “BSE” melalui pembelian hak cipta oleh Pemerintah, dan kebijakan membebaskan semua fihak untuk menerbitkan buku yang sama dengan harga yang telah dipatok oleh Pemerintah tentu saja adalah kebijakan-kebijakan yang didasari oleh niat baik, yaitu untuk membuat proses penyelenggaraan pendidikan yang berbiaya murah. Tapi dalam prakteknya kebijakan tersebut telah melemahkan industri penerbitan buku sekolah sebagaimana yang beberapa aspeknya telah diuraikan di atas.
Sebagai dampak dari kebijakan Pemreintah ini, paradigma penerbitan buku sekolah pun telah mengalami pergeseran. Kini semua fihak (penerbit, pencetak, distributor, atau siapa pun) bebas untuk menerbitkan versi buku murah atau buku “BSE” tersebut. Tapi disebabkan oleh alasan-alasan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tidak banyak penerbit buku sekolah yang tertarik dengan “scheme” ini dan mau mencetak serta menerbitkab buku murah atau buku “BSE” tersebut. Akibatnya “scheme” ini diambil oleh pihak-pihak lain yang tidak memiliki tradisi sebagai penerbit buku sekolah, tapi yang memiliki modal besar serta jaringan distribusi cukup luas. Merekalah yang mampu menerbitkan buku murah atau buku “BSE” tersebut dengan oplah yang sangat besar dan karena itu masih mampu juga meraih keuntungan dari harga jual yang relatif rendah dan yang telah dipatok oleh Pemerintah tersebut.
Dari sisi pihak pengguna, terutama Pemerintah dan peserta didik serta orangtuanya, kebijakan ini tentu sangat menggembirakan. Tapi kebiakan ini melemahkan atau bahkan bisa mematikan para penerbit yang telah memiliki tradisi dan keahlian sebagai penerbit buku sekolah. Dan kalau penerbit buku sekolah sudah tidak ada, maka siapa lagi yang bisa melakukan inovasi, yaitu mendorong dan membimbing para guru untuk menulis dan menerbitkan buku yang baik?
Jangan kita lupa, bahwa industri penerbitan buku adalah sebuah industri yang faktor idelismenya jauh lebih besar dari faktor komersilnya. Para usahawan besar yang tidak memiliki tradisi dan keahlian sebagai penerbit itu belum tentu mau dan bisa melakukan inovasi sebagaimana yang selama ini telah dilakukan oleh penerbit buku sekolah. Mereka hanya mau menjadi penerbit ketika secara ekonomi “scheme” buku murah atau buku “BSE” tersebut memang menjanjikan keuntungan yang sepadan dengan modal yang telah dikeluarkannya; apalagi dewasa ini dana pemerintah yang disediakan untuk membeli buku murah atau buku “BSE” berlimpah.
Toko Buku Tetap Terpinggirkan
Pada awalnya, ketika “scheme” buku murah atau buku”BSE” ini diluncurkan, Pemerintah juga berharap bahwa “scheme” ini akan menghidupkan toko buku sebagai mata rantai dalam sistem industri penerbitan buku. Tapi kebijakan yang menganak-emaskan buku murah atau buku “BSE” untuk bebas dijual di sekolah, dan yang sekaligus menganak-tirikan buku teks pelajaran dan buku pelengkap biasa yang hanya boleh diual di toko, ternyata tidak mencapai sasaran. Para produsen buku murah atau buku “BSE” tersebut—dan yang notabene bisa siapa saja–tetap saja mem-“by-pass” toko buku. Oleh karena itu toko buku tak ikut mencicipi keuntungan dari scheme “tersebut”.
Sementara itu pada pihak lain—karena buku murah atau buku “BSE” begitu mudahnya diperoleh di sekolah—maka konsumen tak tertarik lagi untuk membeli buku teks pelajaran atau buku pelengkap yang diproduksi oleh penerbit buku sekolah tradisinal dan yang hanya boleh dijual di toko buku.
Penerbit buku sekolah juga merasakan ketidak-adilan kebijakan dalam hal toleransi terhadap standar buku teks sekolah. Selama ini BSNP (Badan Standarisasi Nasional Pendidikan) telah mengeluarkan sejumlah standar—terutama standar fisik–yang harus dipatuhi oleh penerbit dalam menerbitkan buku teks pelajaran. Tapi dalam hal penerbitan buku murah atau buku “BSE” standar tersebut ternyata tak berlaku. Demi untuk mempertahankan harga jual yang relaif rendah sebagaimana yang dipatok oleh Pemerintah, maka para “penerbit”(dan itu bisa berarti penerbit, pencetak, distributor, atau siapa saja) acapkali mengabaikan standar fisik tersebut. Dan bagi penerbit buku sekolah yang biasa atau tradisional hal ini juga tentu dirasakan sebagai suatu ketidak-adilan.
Ketika IKAPI Tidak Didengar dan Penerbit Tidak Disiplin
Munculnya “scheme” buku “BSE” dengan segala akibat yang ditimbulkannya sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari hubungan para penerbit buku sekolah—terutama dalam kebersamaan mereka di IKAPI—dengan Pemerintah. IKAPI tidak berhasil untuk sedikit pun memberikan sumbangan pikirannya bagi sebuah kebijakan yang sama-sama menguntungkan, yaitu tetap tumbuhnya industri penerbitan buku sekolah yang sehat, dan tercapainya penyelenggaraan pendidikan yang berbiaya murah.
Kebijakan Pemerintah untuk membuat “scheme” buku “BSE” itu adalah sebuah kebijakan politik yang populis dan terutama sebagai perwujudan janji Presiden SBY ketika ia berkampanye di tahun 2004 untuk membuat pendidikan yang berbiaya murah. Tapi ketika Pemerintah masih dalam tahap awal rencanya untuk membuat buku “BSE”, maka alih-alih menyokong kebijakan tersebut seraya memberikan masukan yang menguntungkan industri penerbitan buku sekolah, maka IKAPI hanya sibuk “mentorpedo” rencana tersebut. Dan upaya itu bukan pula dilakukan dalam pertemuan-pertemuan tertutup, tapi justeru dilakukan dalam ruang terbuka melalui pernyataan di media massa.
Sementara itu, pada pihak lain, para penerbit buku sekolah yang tergabung dalam IKAPI juga ternyata tidak cukup berdisplin. Secara diam-diam cukup banyak penerbit buku sekolah yang melakukan perundingan dengan Pemerintah untuk menyokong kebijakan tersebut dan bersedia hanya untuk menjadi “packager” dalam memasok naskah ke Pemerintah, dan kemudian menjadi pencetak (karena memang itulah hakekat yang dilakukan dalam menerbitkan buku “BSE”) dari buku yang hak ciptanya sudah dibeli oleh Pemerintah tersebut.
Kekakuan IKAPI ini tentu saja dimanfaatkan oleh kelompok usaha besar yang bukan penerbit buku sekolah. Dengan serta=merta mereka menyatakan diri untuk siap melaksanakan “scheme” tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh Pemerintah. Dan Pemerintah yang memang sedang membutuhkan dukungan untuk kebijakan populisnya tentu saja menyambut tawaran tersebut dengan sukarela. Dan pada fihak lain, ketidak-disilinan anggota IKAPI itu semakin dimanfaatkan oleh Pemerintah untuk menggencarkan “scheme” pembelian hak cipta.
Penutup
Belajar dari kasus “scheme” buku “BSE” dengan segala dampaknya sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka di masa mendatang pola kerja para penerbit yang tergabung dalam IKAPI dalam berurusan dengan Pemerintah perlu diubah.
IKAPI perlu lebih sering dan lebih rajin memantau rencana berbagai kebijakan Pemerintah (terutama perbukuan) dari jenjang paling bawah birokrasi. Segala kritik, usulan atau masukan dari IKAPI sebaiknyalah dilakukan dalam suasana saling percaya dan kemitraan yang sejajar. Kemudian segala rencana kebijakan itu hendaknya selalu diinformasikan secara luas dan didiskusikan secara intensif oleh para penerbit. Dan dalam memperjuangkan setiap kebijakan, hendaklah IKAPI selalu ingat bahwa dia adalah institusi yang memperjuangkan kepentingan seluruh penerbit atau industri penerbitan buku nasional, dan bukan kepentingan satu atau dua penerbit besar, Pada fihak lain, IKAPI juga tidak boleh segan menindak anggotanya yang tidak berdisiplin dan mengganggu kepentingan bersama.
“Scheme” buku murah atau buku “BSE” ini tampaknya tidak mungkin untuk dibatalkan begitu saja. Oleh karena itu yang bisa dilakukan oleh IKAPI hanyalah bagaimana memberi usulan kepada Pemerintah agar mau berpikir lebih panjang ke depan, melakukan modifikasi dan membuat kebijakan-kebiakan baru yang lebih adil demi kelangsungan industri penerbitan buku nasional yang notabene juga adalah demi kepentingan pendidikan nasional.
Beberapa hal yang sempat terpikir antara lain—misalnya—adalah bagaimana membuat kebijakan yang adil dalam masalah penjualan buku di sekolah. Misalnya membolehkan semua buku untuk dijual di sekolah, atau samasekali tidak membolehkan buku apa pun dijual di sekolah. Kemudian bagaimana membuat kebijakan standarisasi (fisik) yang harus dipatuhi oleh buku apa pun itu. Kemudian juga bagaimana membuat kebijkan agar dana negara tidak hanya dipakai untuk membeli buku-buku murah atau “BSE” dan yang seringkali menjadi mubazir, tapi juga membeli buku-buku lain. Kemudian juga bagaimana membuat kebijakan agar “kue” buku “BSE” itu tidak hanya dinikmati oleh mereka yang menjadi penerbit secara amatir dan temporer, tapi juga terutama dinikmati oleh para penerbit yang secara tradisi dan keahlian memang berkcimpung dalam penerbitan buku sekolah.
Akhirnya, apa pun kebijakan yang diusulkan oleh para penerbit dalam kebersamaan mereka di IKAPI, maka perlu tetap diingat bahwa hal itu selalu membutuhkan dikusi yang intensif, matang dan argumennya “masuk akal” Pemerintah [.].
http://mulaharahap.wordpress.com/2010/06/26/622/#more-622
Oleh: Mula Harahap

Pada hari Jumat 4 Juni 2010, bertempat di kantor IKAPI DKI Jakara telah berlangsung sebuah diskusi “round table” yang membicarakan permasalahan di seputar industri penerbitan buku sekolah.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Pengurus IKAPI DKI Jakarta, dan yang dihadiri oleh sejumlah pengamat industri penerbitan buku dan praktisi industri penerbitan buku sekolah ini, adalah diskusi pertama dari serangkaian diskusi untuk memetakan permasalahan yang dihadapi oleh industri penerbitan buku Indonesia, serta mencari pikiran-pikiran bagaimana mengatasi permasalahan tersebut.

Berikut ini adalah rangkuman dari diskusi tersebut. Mudah-mudahan dari rangkuman diskusi awal ini para penerbit anggota IKAPI bisa memahami persoalan secara lebih baik dan bisa memuncukan gagasan dan pikiran untuk perbaikan di masa mendatang.

“Scheme” Buku “BSE” dan Larangan Menjual Buku Lain di Sekolah
Kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional untuk membeli hak cipta buku-buku teks pelajaran (pada awalnya “scheme” ini dimaksudkan untuk menyediakan buku yang bisa diunduh melalui jaringan internet dan karenanya dikenal sebagai Buku Sekolah Elektronik atau BSE) dan membebaskan siapa saja untuk menggandakan buku-buku tersebut sepanjang harga jualnya tidak melebihi harga yang telah dipatok oleh Pemerintah, serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang melarang sekolah untuk membeli buku apapun dari penerbit kecuali buku teks pelajaran yang hak ciptanya telah dipegang oleh Pemerintah itu, tentu merupakan pukulan besar bagi para penerbit.
Pasar bagi buku-buku teks pelajaran biasa menjadi tertutup. Oleh karena itu banyak penerbit buku sekolah yang terpaksa mengurangi kegiatannya, dan pada gilirannya mengurangi karyawannya. Memang beberapa penerbit buku sekolah masih bisa “bertahan” dengan “main kucing-kucingan” menggiatkan penjualan buku-bukunya di sekolah swasta yang sampai saat ini masih banyak yang tidak terlalu memperdulikan ketentuan tersebut. Kemudian para penerbit juga masih bisa—kembali dengan “main kucing-kucingan–memanfaatkan peluang untuk menjual buku teks pelajarannya, baik di sekolah negeri maupun swasta, yang edisi “BSE” atau edisi murahnya belum tersedia di pasar.

Penerbit Menjadi “Packager”
Tapi kebijakan populis menyediakan buku “BSE” atau buku murah yang hak ciptanya dipegang oleh Pemerintah ini disinyalir tidak akan bisa dibendung lagi. Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi semua mata pelajaran (SD, SMP dan SMA) akan memliki edisi murahnya. Dan setiap mata pelajaran bukan saja akan memiliki satu judul buku; tapi beberapa judul buku.
Oleh karena itu upaya lain yang bisa dilakukan oleh penerbit buku sekolah untuk bisa bertahan adalah ikut menciptakan buku teks pelajaran untuk ditawarkan agar hak ciptanya dibeli oleh Pemerintah dan buku tersebut masuk dalam “scheme” buku “BSE”.
Tapi oleh para penerbit upaya ini dirasakan bukanlah sebagai sebuah solusi yang langgeng. Ini hanyalah tindakan darurat untuk bertahan hidup. Harga pembelian–atau lebih tepatnya penyewaan hak cipta untuk jangka waktu 15 tahun—itu tidaklah terlalu besar. Dahulu Pemerintah memang masih bersedia membeli hak cipta sebuah edisi dengan harga Rp. 150 juta.
Tapi dari tahun ke tahun harga tersebut cenderung menurun terus. Bahkan karena banyaknya fihak (penerbit maupun pengarang) yang menawarkan hak cipta buku pelajarannya agar dibeli oleh Pemerintah, maka Pemerintah berada dalam posisi tawar yang kuat. Menurut kabar bahwa kini ada buku yang hak ciptanya bisa dibeli Pemerintah hanya dengan harga Rp. 25 juta. Bila dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh penerbit jika ia memproduksi dan menjual bukunya secara biasa di pasar, maka pendapatan yang diperoleh penerbit dari menjual hak cipta bukunya, tentu saja sangat kecil.

Penerbit Yang Hanya Menjadi Pencetak
Sebenarnya penerbit bisa juga ikut “bermain” dengan menerbitkan buku-buku yang hak ciptanya telah dibeli oleh Pemerintah itu. Apalagi, sebagaimana telah diuraikan di atas, hak cipta tersebut bebas dimanfaakan oleh siapa pun (penerbit, percetakan, distributor dsb) untuk ikut menerbitkan buku edisi murah tersebut).
Tapi disebabkan semua pihak bisa menerbitkan buku “BSE” yang sama asalkan harga jualnya tidak melebii yang telah dipatok oleh emerintah, maka pasar untuk buku tersebut menjadi sangat sempit. Dan pasar yang sempit tersebut atau oplah yang kecil pada gilirannya menyebabkan penerbit sukar untuk mengikuti harga yang telah dipatok oleh Pemerintah tersebut. Atau, kalau pun penerbit tetap juga menerbitkannya, maka keuntungan yang akan diperolehnya sangat jauh dari memadai. Oleh karena itulah maka kini hanya ada satu atau dua perusahaan besar non-penerbit buku, yang memiliki modal besar dan jaringan distribusi luas, yang mampu menerbitkan buku edisi murah tersebut. Dan bila ditinjau dari asas pemertaaan dan keadilan, maka kenyataan ini tentu sudah tidak sehat.
Hal lain yang bisa dilakukan oleh penerbit buku sekolah pada masa kirisis ini ialah mencoba tetap menerbitkan buku teks pelajaran, buku pelengkap dsb dan menjualnya melalui saluran toko buku. (Perlu diingat bahwa tidak ada larangan bagi sekolah untuk merekomendasikan sebuah buku kepada orangtua dan untuk dibeli di toko buku). Tapi mengingat bahwa buku murah atau buku “BSE” itu bebas atau tidak dilarang untuk dijual di sekolah, maka tentu saja akan kecil sekali kemungkinan ada murid atau orangtua yang membeli buku biasa terbitan para penerbit itu di toko buku. Apatah lagi dewasa ini banyak sekali dana-dana proyek Pemerintah (APBN atau APBD) yang dipergunakan untuk membeli buku-buku murah tersebut. (Bahkan dalam banyak kasus, sekolah acapkali menerima buku “BSE” yang judul maupun eksemplarnya melebihi kebutuhan.
Pergeseran Paradigma dalam Industri Penerbitan Buku
Kebijakan Pemerintah untuk melarang penjualan buku oleh penerbit di sekolah (kecuali buku murah atau buku “BSE”), kebijakan penyediaan buku murah atau buku “BSE” melalui pembelian hak cipta oleh Pemerintah, dan kebijakan membebaskan semua fihak untuk menerbitkan buku yang sama dengan harga yang telah dipatok oleh Pemerintah tentu saja adalah kebijakan-kebijakan yang didasari oleh niat baik, yaitu untuk membuat proses penyelenggaraan pendidikan yang berbiaya murah. Tapi dalam prakteknya kebijakan tersebut telah melemahkan industri penerbitan buku sekolah sebagaimana yang beberapa aspeknya telah diuraikan di atas.
Sebagai dampak dari kebijakan Pemreintah ini, paradigma penerbitan buku sekolah pun telah mengalami pergeseran. Kini semua fihak (penerbit, pencetak, distributor, atau siapa pun) bebas untuk menerbitkan versi buku murah atau buku “BSE” tersebut. Tapi disebabkan oleh alasan-alasan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tidak banyak penerbit buku sekolah yang tertarik dengan “scheme” ini dan mau mencetak serta menerbitkab buku murah atau buku “BSE” tersebut. Akibatnya “scheme” ini diambil oleh pihak-pihak lain yang tidak memiliki tradisi sebagai penerbit buku sekolah, tapi yang memiliki modal besar serta jaringan distribusi cukup luas. Merekalah yang mampu menerbitkan buku murah atau buku “BSE” tersebut dengan oplah yang sangat besar dan karena itu masih mampu juga meraih keuntungan dari harga jual yang relatif rendah dan yang telah dipatok oleh Pemerintah tersebut.
Dari sisi pihak pengguna, terutama Pemerintah dan peserta didik serta orangtuanya, kebijakan ini tentu sangat menggembirakan. Tapi kebiakan ini melemahkan atau bahkan bisa mematikan para penerbit yang telah memiliki tradisi dan keahlian sebagai penerbit buku sekolah. Dan kalau penerbit buku sekolah sudah tidak ada, maka siapa lagi yang bisa melakukan inovasi, yaitu mendorong dan membimbing para guru untuk menulis dan menerbitkan buku yang baik?
Jangan kita lupa, bahwa industri penerbitan buku adalah sebuah industri yang faktor idelismenya jauh lebih besar dari faktor komersilnya. Para usahawan besar yang tidak memiliki tradisi dan keahlian sebagai penerbit itu belum tentu mau dan bisa melakukan inovasi sebagaimana yang selama ini telah dilakukan oleh penerbit buku sekolah. Mereka hanya mau menjadi penerbit ketika secara ekonomi “scheme” buku murah atau buku “BSE” tersebut memang menjanjikan keuntungan yang sepadan dengan modal yang telah dikeluarkannya; apalagi dewasa ini dana pemerintah yang disediakan untuk membeli buku murah atau buku “BSE” berlimpah.

Toko Buku Tetap Terpinggirkan
Pada awalnya, ketika “scheme” buku murah atau buku”BSE” ini diluncurkan, Pemerintah juga berharap bahwa “scheme” ini akan menghidupkan toko buku sebagai mata rantai dalam sistem industri penerbitan buku. Tapi kebijakan yang menganak-emaskan buku murah atau buku “BSE” untuk bebas dijual di sekolah, dan yang sekaligus menganak-tirikan buku teks pelajaran dan buku pelengkap biasa yang hanya boleh diual di toko, ternyata tidak mencapai sasaran. Para produsen buku murah atau buku “BSE” tersebut—dan yang notabene bisa siapa saja–tetap saja mem-“by-pass” toko buku. Oleh karena itu toko buku tak ikut mencicipi keuntungan dari scheme “tersebut”.
Sementara itu pada pihak lain—karena buku murah atau buku “BSE” begitu mudahnya diperoleh di sekolah—maka konsumen tak tertarik lagi untuk membeli buku teks pelajaran atau buku pelengkap yang diproduksi oleh penerbit buku sekolah tradisinal dan yang hanya boleh dijual di toko buku.
Penerbit buku sekolah juga merasakan ketidak-adilan kebijakan dalam hal toleransi terhadap standar buku teks sekolah. Selama ini BSNP (Badan Standarisasi Nasional Pendidikan) telah mengeluarkan sejumlah standar—terutama standar fisik–yang harus dipatuhi oleh penerbit dalam menerbitkan buku teks pelajaran. Tapi dalam hal penerbitan buku murah atau buku “BSE” standar tersebut ternyata tak berlaku. Demi untuk mempertahankan harga jual yang relaif rendah sebagaimana yang dipatok oleh Pemerintah, maka para “penerbit”(dan itu bisa berarti penerbit, pencetak, distributor, atau siapa saja) acapkali mengabaikan standar fisik tersebut. Dan bagi penerbit buku sekolah yang biasa atau tradisional hal ini juga tentu dirasakan sebagai suatu ketidak-adilan.

Ketika IKAPI Tidak Didengar dan Penerbit Tidak Disiplin
Munculnya “scheme” buku “BSE” dengan segala akibat yang ditimbulkannya sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari hubungan para penerbit buku sekolah—terutama dalam kebersamaan mereka di IKAPI—dengan Pemerintah. IKAPI tidak berhasil untuk sedikit pun memberikan sumbangan pikirannya bagi sebuah kebijakan yang sama-sama menguntungkan, yaitu tetap tumbuhnya industri penerbitan buku sekolah yang sehat, dan tercapainya penyelenggaraan pendidikan yang berbiaya murah.
Kebijakan Pemerintah untuk membuat “scheme” buku “BSE” itu adalah sebuah kebijakan politik yang populis dan terutama sebagai perwujudan janji Presiden SBY ketika ia berkampanye di tahun 2004 untuk membuat pendidikan yang berbiaya murah. Tapi ketika Pemerintah masih dalam tahap awal rencanya untuk membuat buku “BSE”, maka alih-alih menyokong kebijakan tersebut seraya memberikan masukan yang menguntungkan industri penerbitan buku sekolah, maka IKAPI hanya sibuk “mentorpedo” rencana tersebut. Dan upaya itu bukan pula dilakukan dalam pertemuan-pertemuan tertutup, tapi justeru dilakukan dalam ruang terbuka melalui pernyataan di media massa.
Sementara itu, pada pihak lain, para penerbit buku sekolah yang tergabung dalam IKAPI juga ternyata tidak cukup berdisplin. Secara diam-diam cukup banyak penerbit buku sekolah yang melakukan perundingan dengan Pemerintah untuk menyokong kebijakan tersebut dan bersedia hanya untuk menjadi “packager” dalam memasok naskah ke Pemerintah, dan kemudian menjadi pencetak (karena memang itulah hakekat yang dilakukan dalam menerbitkan buku “BSE”) dari buku yang hak ciptanya sudah dibeli oleh Pemerintah tersebut.
Kekakuan IKAPI ini tentu saja dimanfaatkan oleh kelompok usaha besar yang bukan penerbit buku sekolah. Dengan serta=merta mereka menyatakan diri untuk siap melaksanakan “scheme” tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh Pemerintah. Dan Pemerintah yang memang sedang membutuhkan dukungan untuk kebijakan populisnya tentu saja menyambut tawaran tersebut dengan sukarela. Dan pada fihak lain, ketidak-disilinan anggota IKAPI itu semakin dimanfaatkan oleh Pemerintah untuk menggencarkan “scheme” pembelian hak cipta.

Penutup
Belajar dari kasus “scheme” buku “BSE” dengan segala dampaknya sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka di masa mendatang pola kerja para penerbit yang tergabung dalam IKAPI dalam berurusan dengan Pemerintah perlu diubah.
IKAPI perlu lebih sering dan lebih rajin memantau rencana berbagai kebijakan Pemerintah (terutama perbukuan) dari jenjang paling bawah birokrasi. Segala kritik, usulan atau masukan dari IKAPI sebaiknyalah dilakukan dalam suasana saling percaya dan kemitraan yang sejajar. Kemudian segala rencana kebijakan itu hendaknya selalu diinformasikan secara luas dan didiskusikan secara intensif oleh para penerbit. Dan dalam memperjuangkan setiap kebijakan, hendaklah IKAPI selalu ingat bahwa dia adalah institusi yang memperjuangkan kepentingan seluruh penerbit atau industri penerbitan buku nasional, dan bukan kepentingan satu atau dua penerbit besar, Pada fihak lain, IKAPI juga tidak boleh segan menindak anggotanya yang tidak berdisiplin dan mengganggu kepentingan bersama.
“Scheme” buku murah atau buku “BSE” ini tampaknya tidak mungkin untuk dibatalkan begitu saja. Oleh karena itu yang bisa dilakukan oleh IKAPI hanyalah bagaimana memberi usulan kepada Pemerintah agar mau berpikir lebih panjang ke depan, melakukan modifikasi dan membuat kebijakan-kebiakan baru yang lebih adil demi kelangsungan industri penerbitan buku nasional yang notabene juga adalah demi kepentingan pendidikan nasional.
Beberapa hal yang sempat terpikir antara lain—misalnya—adalah bagaimana membuat kebijakan yang adil dalam masalah penjualan buku di sekolah. Misalnya membolehkan semua buku untuk dijual di sekolah, atau samasekali tidak membolehkan buku apa pun dijual di sekolah. Kemudian bagaimana membuat kebijakan standarisasi (fisik) yang harus dipatuhi oleh buku apa pun itu. Kemudian juga bagaimana membuat kebijkan agar dana negara tidak hanya dipakai untuk membeli buku-buku murah atau “BSE” dan yang seringkali menjadi mubazir, tapi juga membeli buku-buku lain. Kemudian juga bagaimana membuat kebijakan agar “kue” buku “BSE” itu tidak hanya dinikmati oleh mereka yang menjadi penerbit secara amatir dan temporer, tapi juga terutama dinikmati oleh para penerbit yang secara tradisi dan keahlian memang berkcimpung dalam penerbitan buku sekolah.
Akhirnya, apa pun kebijakan yang diusulkan oleh para penerbit dalam kebersamaan mereka di IKAPI, maka perlu tetap diingat bahwa hal itu selalu membutuhkan dikusi yang intensif, matang dan argumennya “masuk akal” Pemerintah.

* Mula Harahap, notulis dan pernah aktif di IKAPI
Sumber: MULAHARAHAP.WORDPRESS.COM, 26 Juni 2010 

Sumber: http://indonesiabuku.com/?p=5900

Tidak ada komentar:

Posting Komentar