Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) telah menetapkan sejumlah
Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) dinilai layak dan telah ditetapkan sebagai Buku Teks
pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam
pembelajaran. Konon, jumlah BSE berdasarkan update terakhir, jumlahnya
telah mencapai 900-an judul. Luar biasa!
Meski demikian, kebijakan BSE yang memiliki jargon “buku sekolah murah
untuk rakyat” ini tak urung menimbulkan sebuah tanda tanya besar.
Efektifkah keberadaan BSE jika dikaitkan dengan realitas masyarakat
persekolahan kita yang sebagian besar masih “gagap internet”?
Jika mau jujur, kebijakan BSE untuk saat ini, bahkan mungkin juga dalam
beberapa tahun mendatang, bukanlah momen yang tepat. Masih belum
meratanya jaringan infrastruktur internet di berbagai sekolah di wilayah
Indonesia jelas menjadi kendala utama. Alih-alih membaca secara online
dan/atau men-download BSE, sekadar membuka internet saja, masih banyak
sekolah yang belum mampu melakukannya lantaran kendala jaringan. Ini
artinya, BSE hanya bisa digunakan dan dinikmati oleh sekolah-sekolah
tertentu, khususnya di daerah perkotaan, yang memiliki jaringan internet
memadai. Itu pun belum tentu dijamin lancar karena besar dan beratnya
beban server yang lemot dan menumpuk.
Selain kendala utama tentang masih minimnya jaringan infrastruktur
internet, BSE juga menimbulkan imbas samping yang cukup meluas. Pertama,
banyak sekolah yang kesulitan menemukan buku-buku teks bermutu. Visi
BSE untuk menyediakan buku-buku murah dengan memberikan kesempatan
kepada siapa pun untuk men-download dan mencetak, untuk kemudian
menjualnya secara bebas sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang
sudah dipatok, memang layak diapresiasi. Namun, siapa orangnya yang mau
mencetak buku-buku teks dengan harga yang mustahil mampu mendatangkan
keuntungan? Siapa pula yang bisa menjamin, penerbit yang selama ini
sudah mem-fokuskan diri untuk menerbitkan buku-buku teks, mau
menerbitkan BSE yang sama sekali tidak menjanjikan keuntungan finansial?
Kenyataan pahit itu makin terbukti setelah 3-4 tahun kebijakan BSE
berjalan, buku-buku teks bermutu yang cocok dengan kebutuhan siswa makin
sulit dan langka ditemukan. BSE hanya menumpuk dan “menyampah” di
server BSE, bahkan nyaris tak tersentuh publik lantaran sulitnya diakses
dan diunduh. Yang terjadi kemudian, banyak penerbit buku teks yang
gulung tikar dan beralih usaha ke penerbitan non-buku teks sambil
meraba-raba pasar yang belum jelas segmentasinya. Kalau toh masih ada
penerbit yang eksis menerbitkan buku-buku teks, jumlahnya masih bisa
dihitung dengan jari. Yang diterbitkan pun umumnya bukan lagi BSE.
Mereka berani melakukan terobosan di bidang penerbitan demi ikut-serta
membangkitkan dan menghidupkan budaya literasi di kalangan peserta didik
yang selama ini telah dibelenggu oleh kebijakan BSE yang dinilai kurang
membumi.
Kedua, memasung kreativitas guru atau penulis buku teks. Disadari atau
tidak, pasca-BSE, banyak guru atau penulis buku teks yang selama ini
telah berjasa besar dalam mengakrabkan siswa pada buku-buku teks bermutu
mulai surut animo dan kreativitasnya untuk menulis lantaran tak ada
lagi penerbit yang mau menampung karya-karyanya. Surutnya kreativitas
guru dalam menulis buku teks, jelas akan memberikan imbas yang sangat
besar terhadap ketersediaan buku-buku teks yang bermutu dan mencerahkan
dunia keilmuan. Peserta didik hanya “dicekoki” buku-buku teks “sampah”
lantaran sudah kedaluwarsa dan tidak lagi sesuai dengan konteks dan
dinamika keilmuan yang terus berkembang.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil generasi masa
depan negeri ini tak akan pernah mendapatkan asupan nutrisi dan gizi
batin yang cukup lantaran telah terpasung oleh BSE yang “nyampah” di
internet. Dalam konteks demikian, sebelum kondisi yang lebih parah
terjadi, perlu ada kebijakan untuk mengkaji ulang kebijakan BSE yang
dinilai tidak banyak memberikan nilai tambah buat kemajuan dunia
pendidikan. Naskah-naskah buku teks yang sudah telanjur di-BSE-kan,
silakan dipakai buat mereka yang bisa mengaksesnya, tetapi untuk
tahun-tahun mendatang, kebijakan semacam ini perlu segera dihentikan.
Pemerintah (cq. Kemdiknas) sebagai pemegang kendali kebijakan, perlu
bersikap visioner untuk mengakrabkan peserta didik di tingkat dasar
hingga menengah pada buku-buku teks yang bermutu dan mencerahkan. Kalau
berkehendak menyediakan buku murah, lakukan droping buku-buku teks versi
cetakan secara merata ke sekolah-sekolah di seluruh penjuru tanah air.
Tentu saja, buku-buku teks yang di-droping ke sekolah-sekolah perlu
dilakukan secara selektif melalui penilaian lintas-sektor dengan
melibatkan unsur pendidik, psikolog, grafika, akademisi, dan unsur-unsur
lain yang relevan agar buku teks yang di-droping benar-benar terjaga
kualitasnya. Lakukan pemantauan secara serius, bertahap, dan
berkelanjutan! Jika buku-buku teks yang di-droping dinilai sudah
ketinggalan zaman, lakukan pergantian secara terprogram dan sistemik,
sehingga alur perbukuan di sekolah bisa terkontrol secara jelas dan
terkendali.
Jika atmosfer semacam ini kembali dibuka, bukan tidak mungkin gairah
para guru untuk menulis buku teks kembali bangkit, dan memberikan
peluang kepada para penerbit untuk bersaing secara sehat dengan
menyediakan buku-buku yang sehat dan bermutu. Jangan sampai terjadi,
“investasi” masa depan negeri ini untuk melahirkan gerenasi yang cerdas
dan memiliki budaya literasi tinggi melalui penyediaan buku teks yang
bermutu dan mencerahkan jadi terpasung oleh kebijakan BSE yang dianggap
kurang membumi. Nah, bagaimana? ***
Komentar
Sumber: http://guraru.org/news/2012/04/16/428/buku_teks_pasca_bse_apa_kabar.html
Bagi penulis buku, saya kira malah bagus, karena kebijakan ini akan memacu mereka membuat karya yang jauh lebih berkualitas sehingga bisa lolos tender. Beda dengan dulu, yang seolah meski karyanya tak begitu baik toh tetap lolos ke sekolah asal penerbitnya bisa main mata dengan pejabat. Ini akan meningkatkan martabat penulis juga.