EBOOK KURIKULUM KTSP 2006, TERBITAN TAHUN 2008-2009

JUMLAH BUKU DALAM DVD-BSE: 1119 DARI 1331 (YANG TELAH DIUPLOAD DI WEBSITE KEMDIKBUD).

Dapatkan DVD-BSE dengan harga Terjangkau di DVD-BSE WEBSITE. Lebih praktis, Lebih hemat biaya, tidak susah-susah Download di internet. DAN PASTI PUAS. Berminat?? Klik di DVD-BSE atau Hubungi 081338153217

Dan Dapatkan Pula DVD BSE Kurikulum 2013 sebagai bonus pembelian DVD BSE paket Komplit.

Cari Blog Ini

Guru berbagi: Buku Teks Pasca-BSE: Apa Kabar?

Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) telah menetapkan sejumlah Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai layak dan telah ditetapkan sebagai Buku Teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam pembelajaran. Konon, jumlah BSE berdasarkan update terakhir, jumlahnya telah mencapai 900-an judul. Luar biasa!

Meski demikian, kebijakan BSE yang memiliki jargon “buku sekolah murah untuk rakyat” ini tak urung menimbulkan sebuah tanda tanya besar. Efektifkah keberadaan BSE jika dikaitkan dengan realitas masyarakat persekolahan kita yang sebagian besar masih “gagap internet”?
Jika mau jujur, kebijakan BSE untuk saat ini, bahkan mungkin juga dalam beberapa tahun mendatang, bukanlah momen yang tepat. Masih belum meratanya jaringan infrastruktur internet di berbagai sekolah di wilayah Indonesia jelas menjadi kendala utama. Alih-alih membaca secara online dan/atau men-download BSE, sekadar membuka internet saja, masih banyak sekolah yang belum mampu melakukannya lantaran kendala jaringan. Ini artinya, BSE hanya bisa digunakan dan dinikmati oleh sekolah-sekolah tertentu, khususnya di daerah perkotaan, yang memiliki jaringan internet memadai. Itu pun belum tentu dijamin lancar karena besar dan beratnya beban server yang lemot dan menumpuk.
Selain kendala utama tentang masih minimnya jaringan infrastruktur internet, BSE juga menimbulkan imbas samping yang cukup meluas. Pertama, banyak sekolah yang kesulitan menemukan buku-buku teks bermutu. Visi BSE untuk menyediakan buku-buku murah dengan memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk men-download dan mencetak, untuk kemudian menjualnya secara bebas sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sudah dipatok, memang layak diapresiasi. Namun, siapa orangnya yang mau mencetak buku-buku teks dengan harga yang mustahil mampu mendatangkan keuntungan? Siapa pula yang bisa menjamin, penerbit yang selama ini sudah mem-fokuskan diri untuk menerbitkan buku-buku teks, mau menerbitkan BSE yang sama sekali tidak menjanjikan keuntungan finansial?
Kenyataan pahit itu makin terbukti setelah 3-4 tahun kebijakan BSE berjalan, buku-buku teks bermutu yang cocok dengan kebutuhan siswa makin sulit dan langka ditemukan. BSE hanya menumpuk dan “menyampah” di server BSE, bahkan nyaris tak tersentuh publik lantaran sulitnya diakses dan diunduh. Yang terjadi kemudian, banyak penerbit buku teks yang gulung tikar dan beralih usaha ke penerbitan non-buku teks sambil meraba-raba pasar yang belum jelas segmentasinya. Kalau toh masih ada penerbit yang eksis menerbitkan buku-buku teks, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Yang diterbitkan pun umumnya bukan lagi BSE. Mereka berani melakukan terobosan di bidang penerbitan demi ikut-serta membangkitkan dan menghidupkan budaya literasi di kalangan peserta didik yang selama ini telah dibelenggu oleh kebijakan BSE yang dinilai kurang membumi.
Kedua, memasung kreativitas guru atau penulis buku teks. Disadari atau tidak, pasca-BSE, banyak guru atau penulis buku teks yang selama ini telah berjasa besar dalam mengakrabkan siswa pada buku-buku teks bermutu mulai surut animo dan kreativitasnya untuk menulis lantaran tak ada lagi penerbit yang mau menampung karya-karyanya. Surutnya kreativitas guru dalam menulis buku teks, jelas akan memberikan imbas yang sangat besar terhadap ketersediaan buku-buku teks yang bermutu dan mencerahkan dunia keilmuan. Peserta didik hanya “dicekoki” buku-buku teks “sampah” lantaran sudah kedaluwarsa dan tidak lagi sesuai dengan konteks dan dinamika keilmuan yang terus berkembang.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil generasi masa depan negeri ini tak akan pernah mendapatkan asupan nutrisi dan gizi batin yang cukup lantaran telah terpasung oleh BSE yang “nyampah” di internet. Dalam konteks demikian, sebelum kondisi yang lebih parah terjadi, perlu ada kebijakan untuk mengkaji ulang kebijakan BSE yang dinilai tidak banyak memberikan nilai tambah buat kemajuan dunia pendidikan. Naskah-naskah buku teks yang sudah telanjur di-BSE-kan, silakan dipakai buat mereka yang bisa mengaksesnya, tetapi untuk tahun-tahun mendatang, kebijakan semacam ini perlu segera dihentikan.
Pemerintah (cq. Kemdiknas) sebagai pemegang kendali kebijakan, perlu bersikap visioner untuk mengakrabkan peserta didik di tingkat dasar hingga menengah pada buku-buku teks yang bermutu dan mencerahkan. Kalau berkehendak menyediakan buku murah, lakukan droping buku-buku teks versi cetakan secara merata ke sekolah-sekolah di seluruh penjuru tanah air. Tentu saja, buku-buku teks yang di-droping ke sekolah-sekolah perlu dilakukan secara selektif melalui penilaian lintas-sektor dengan melibatkan unsur pendidik, psikolog, grafika, akademisi, dan unsur-unsur lain yang relevan agar buku teks yang di-droping benar-benar terjaga kualitasnya. Lakukan pemantauan secara serius, bertahap, dan berkelanjutan! Jika buku-buku teks yang di-droping dinilai sudah ketinggalan zaman, lakukan pergantian secara terprogram dan sistemik, sehingga alur perbukuan di sekolah bisa terkontrol secara jelas dan terkendali.
Jika atmosfer semacam ini kembali dibuka, bukan tidak mungkin gairah para guru untuk menulis buku teks kembali bangkit, dan memberikan peluang kepada para penerbit untuk bersaing secara sehat dengan menyediakan buku-buku yang sehat dan bermutu. Jangan sampai terjadi, “investasi” masa depan negeri ini untuk melahirkan gerenasi yang cerdas dan memiliki budaya literasi tinggi melalui penyediaan buku teks yang bermutu dan mencerahkan jadi terpasung oleh kebijakan BSE yang dianggap kurang membumi. Nah, bagaimana? ***

Komentar

Di tempat saya, Pak, kebijakan ini telah membawa korban. Dulu, sebagai sekolah swasta, anak-anak harus membeli buku/ Pedagangnya adalah orang yang dekat dngan yayasan. nah, sebagai guru, kamilah yang diumpankan, sedangkan hasilnya sebagian besar dimakan 'yayasan' itu. Untunglah, pihak Pemprov DKI punya kebijakan yang lumayan. Buku BSE itu dicetak dan diberikan kepada setiap sekolah secara gratis dengan jumlah yang berkelebihan. Nah, kemarin ketika 'yayasan' mencoba menekan kami untuk membeli buku, dengan gagah kami tunjkkan setumpuk buku di gudang. Dan 'yayasan' itu gigit jari. Kami bilang, buat apa beli buku: D(jadi anak-anak kami mendapatkan pinjaman buku secara gratis besok)

Bagi penulis buku, saya kira malah bagus, karena kebijakan ini akan memacu mereka membuat karya yang jauh lebih berkualitas sehingga bisa lolos tender. Beda dengan dulu, yang seolah meski karyanya tak begitu baik toh tetap lolos ke sekolah asal penerbitnya bisa main mata dengan pejabat. Ini akan meningkatkan martabat penulis juga.
Bukankah idealnya buku paket pelajaran memang untuk dipinjamkan saja ya?

Dan sebenarnya, fungsi buku paket itu apa sih? Bukankah buku paket itu hanya sebagai salah satu referensi, pegangan bagi guru dalam menyampaikan pelajaran..?
Tujuan kemendikbud membuat Bse patut kita apresiasi, hanya manakala masih belum optimalnya bse dalam hal distribusi dan sosialisasi, itu yg perlu di cari solusinya. Ingat hukum fisika, ada aksi pasti ada reaksi. Kita hanya tinggal menimbang berat kearah positif atau negatif. Ini dah hukum alam.
 
 
Sumber: http://guraru.org/news/2012/04/16/428/buku_teks_pasca_bse_apa_kabar.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar