OPINI | 15 October 2012 | 21:06
Buku
elektronik dapat diartikan sebagai versi digital dari buku cetak
konvensional. Tidak semua buku elektronik berasal dari buku yang telah
dicetak secara konvensional yang kemudian dibuatkan versi digitalnya,
bahkan telah banyak beredar buku elektronik yang tidak memiliki versi
cetak tetapi langsung dibuat dalam bentuk digital. Jika buku cetak pada
umumnya berupa kumpulan kertas yang berisikan teks dan gambar, maka buku
elektronik tidak hanya memuat teks dan gambar tetapi juga memuat suara
dan video atau animasi.
Tetapi
kita harus ingat bahwa untuk dapat menggunakan buku elektronik
dibutuhkan dua hal: buku itu sendiri dan alat bacanya (e-book readers).
Bahkan sebagian buku elektronik hanya dapat diakses dengan sistem
lisensi lewat internet sehingga pembaca tidak benar – benar memiliki
buku elektronik tersebut tetapi hanya dapat mengaksesnya dalam kurun
waktu tertentu. System lisensi ini kebanyakan berlaku selama masa
berlangganan, bukan lisensi untuk setiap judul. Lisensi ini hanya dapat
digunakan untuk kuota pemakaian tertentu dan ketika kuota sudah
terpenuhi maka akses terhadap buku elektronik akan ditutup.
Menurut
salah satu artikel di perpustakaan digital Undip, industry buku
elektronik saat ini sedang mengembangkan standar protocol transfer data
dan metadata. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Open E-book Forum
(OEB) yang kini menjadi International Digital Publishing Forum (IDPF)
adalah membuat berbagai standar mulai dari Open Publication Structure,
Open Packaging Structure, sampai Open Container Format. Pada saat ini,
sebagian besar tampilan buku elektronik di internet menggunakan DOC,
HTML, XML atau PDF. Di masa depan, buku elektronik yang memakai format
XML dapat memakai akhiran “.epub” di belakang nama berkas. (2)
Hingga
saat ini belum ada buku elektronik yang ideal yang dapat benar – benar
menggantikan buku cetak konvensional. Tampilan buku elektronik
seharusnya dirancang sebaik mungkin sehingga pembaca dapat membacanya
dengan nyaman dan tidak membuat mata letih seperti yang kita alami
ketika membaca melalui perangkat komputer dibandingkan membaca di
kertas. Selain itu, alat pembaca buku elektronik (e-book reader) masih
tergolong mahal. Walaupun saat ini hampir semua jenis telepon genggam
dapat digunakan untuk membaca buku elektronik, tetapi layar telepon
genggam yang kecil mengurangi kenyamanan dalam membaca. Pengamanan dan
pengkategorian konten sesuai dengan usia pembaca juga harus diperhatikan
oleh penerbit buku elektronik agar buku yang seharusnya tidak
diperuntukkan bagi anak – anak tidak dapat diakses oleh anak – anak.
Seleksi yang ketat atas konten dan sertifikasi merupakan salah satu hal
yang penting untuk menjaga konten yang berkualitas. Katalogisasi buku
elektronik juga harus disusun sedemikian rupa untuk memudahkan pencarian
melalui keyword yang tepat, seperti halnya jika kita mencari jurnal
online.
Akan
tetapi, industri buku elektronik di Indonesia belum berkembang seperti
industri buku konvensional. Jaringan penerbit dan penyedia jasa buku
elektronik seringkali kurang responsif terhadap pembeli.(1) Penerbit
juga bersikap terlalu protektif dengan menggunakan sistem lisensi yang
hanya dapat diakses dalam kurun waktu tertentu, bahkan seringkali akses
diberikan hanya untuk perorangan dan bukan untuk institusi. Hal ini
menyulitkan pembeli, terutama pengelola perpustakaan, yang bermaksud
memiliki koleksi buku elektronik dan menggunakan akses tersebut untuk
dipakai secara bersama – sama oleh anggota perpustakaan. Padahal harga
atau ongkos berlangganan lisensi tersebut tergolong mahal untuk
perorangan.(3)
Pada
tahun 2008, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pendidikan Nasional
(Kemdiknas) membuat terobosan baru dengan menerbitkan buku sekolah
elektronik (BSE) yang disediakan bagi siswa SD sampai SMA. Tujuan dari
program BSE ini menyediakan sumber belajar alternatif bagi siswa dan
dapat merangsang siswa untuk berpikir kreatif menggunakan bantuan
teknologi informasi dan komunikasi.(3)
Hal ini merupakan suatu
lompatan yang cukup jauh bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.
Pemerintah membeli hak cipta buku teks pelajaran sekolah langsung dari
penulis ataupun penerbit dan menyebarluaskan buku melalui internet. Isi
dari buku sekolah elektronik dibuat sama dengan isi buku sekolah
konvensional, hanya saja dirubah bentuknya menjadi format digital.
Kebijakan menerbitkan Buku Sekolah Elektronik ini bukan tanpa hambatan.
Masalah infrastruktur sekolah dan akses ke internet menjadi kendala
utama. Terutama untuk sekolah – sekolah yang berada di daerah terpencil
yang bahkan tidak memiliki fasilitas komputer sama sekali. Bahkan para
siswa dan orang tua di kota besar pun masih banyak yang belum terbiasa
dengan internet dan hal ini menghambat pendistribusian buku sekolah
elektronik.
Banyak
manfaat dan kelebihan yang bisa di ambil dari penerapan buku
elektronik, untuk Indonesia dengan beberapa fakta di atas, sudah
saatnya(kah) kita beralih ke e- book?
Dibuat oleh:
Alfian, Dyka Patriawardhani, Kurnia Dyputera dan Novendra (Kelompok 4, Kelas PW23-C)
Untuk tugas mata kuliah System Information and Technology
Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada, 2012
Sumber:
-
Putera, P. B., 2011, Ebook dan Pasar Perbukuan Kini, Diakses pada tanggal 11 Oktober 2012; Alamat website: http://www.buku-e.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1321295564&&1
-
Diponegoro University Library, Buku Elektronik, Diakses pada tanggal 11 Oktober 2012: Alamat website: http://digilib.undip.ac.id/index.php/component/content/article/53-perpuspedia/206-buku-elektronik
-
Ismawati, J., 2011, “Buku Sekolah Elektronik”, Nasib Mahasiswa dan Murid Masa Kini, Diakses pada tanggal 11 Oktober 2012; Alamat website: http://bse31.blogspot.com/2011/12/buku-sekolah-elektronik-nasib-mahasiswa.htmlSumber: http://edukasi.kompasiana.com/2012/10/15/sudah-saatnyakah-indonesia-beralih-ke-e-book-495975.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar