Pemerintah
telah melakukan banyak langkah untuk membantu tersedianya buku murah
berkualitas. Antara lain dengan pengembangan naskah dan pengendalian
mutu buku. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, khususnya dalam hal
perbukuan, mensyaratkan bahwa bahwa buku-buku teks yang digunakan oleh
siswa harus terlebih dahulu dinilai oleh Badan Standardisasi Nasional
Pendidikan (BNSP).
Tujuan
penilaian buku teks adalah untuk memastikan bahwa buku-buku teks yang
akan digunakan di sekolah-sekolah benar-benar layak pakai dan memenuhi
standard nasional. Kelayakan buku dinilai berdasarkan empat aspek pokok,
yaitu: isi, metodologi, kebahasaan, dan desain grafis.
Penilaian
seberapa jauh sekolah memenuhi standard buku dilaksanakan sebagai
bagian dari akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Sekolah (BAS)
yang ada di kabupaten/kota dan menjalankan akreditasi sekolah secara
berkala dengan instrumen standard nasional.
Kita
bisa memahami jika di sekolah perlu ada proses pemilihan buku,
meskipun buku-buku sudah teks sudah dinilai oleh BSNP. Penilaian
yang dilakukan oleh BSNP hanya untuk menilai apakah suatu buku layak
berdasarkan standard nasional. Pihak sekolah dan komite sekolah
masih perlu memilih mana yang paling cocok. Pemilihan itu
berdasarkan: (1) kesesuaian tingkat kesulitan bahan ajar dengan
kapasitas intelektual murid; (2) kesesuaian metodologi dengan
kemampuan murid; (3) kesesuaian aspek kebahasaan dengan kemampuan
membaca murid; (4) kesesuaian isi dengan keperluan pengayaan
pengetahuan bagi murid; (5) kesesuaian wujud dan penampilan fisik buku
dengan konteks penggunaan oleh murid; dan (6) kesesuaian isi,
kegiatan, dan ilustrasi dengan lingkungan sosial dan budaya murid.
Sejak
Departemen Pendidikan Nasional menjalankan program penilaian buku
teks dengan maksud mengendalikan mutu buku-buku teks yang akan
dipergunakan oleh para pelajar Indonesia. Selanjutnya, sebagai upaya
pemerataan kesempatan memeroleh pendidikan yang layak, Pemerintah
mengupayakan terciptanya harga buku teks yang murah dengan cara
membeli hak cipta buku-buku teks pelajaran dari penulis atau
penerbit untuk dipergunakan selama lima belas tahun. Berbagai pihak
dipersilakan mencetak baik secara tunggal maupun masal tanpa harus
membayar royalti kepada Pemerintah selaku pemilik hak cipta.
Tiga
tahun lalu pemerintah mengeluarkan Permendiknas No.2 Tahun 2008 tentang
buku. Melalui permendiknas ini, Depdiknas akan membeli hak cipta dari
penulis dan distribusinya berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh
Depdiknas. Setidaknya Depdiknas mengalokasikan dana sebesar Rp 20 miliar
untuk pembelian hak cipta sebanyak 295 jilid buku.
Dalam
memperjualbelikan buku para penerbit harus mematuhi harga eceran
tertinggi yang telah ditetapkan untuk setiap buku tersebut. Di samping
menstandardisasi mutu dan mengupayakan keterjangkauan harga,
Pemerintah juga mengupayakan kemudahan akses terhadap buku-buku
tersebut. Program Buku Murah yang dijalankan Departemen Pendidikan
Nasional pada kurun 2005 – 2009 dimaksudkan menyediakan buku teks
bermutu setiap mata pelajaran dan dapat diperoleh atau dijangkau oleh
setiap guru dan murid di seluruh Indonesia dengan harga murah.
Untuk
menjamin mutu buku ajar, Pemerintah menyelenggarakan penilaian terhadap
buku-buku teks dan mengumumkan hasilnya kepada masyarakat. Untuk
menjamin harga, Pemerintah membeli hak cipta buku-buku yang lolol
penilaian (dinyatakan layak oleh Meteri) dan memersilakan semua pihak
mencetak dalam jumlah besar maupun kecil secara gratis.
Untuk menjamin akses, Pemerintah mengunggah (upload)
buku-buku yang hak ciptanya telah dibeli ke laman internet. Untuk
menjamin kedemokratisan, Pemerintah tidak memaksa penulis/penerbit
menjual bukunya dan memersilakan penerbitannya tanpa campur tangan
Pemerintah jika mereka menghendaki.
Buku-buku
yang hak ciptanya telah dimiliki (dibeli) Pemerintah tersedia dalam
tiga bentuk, yang semuanya dinamai Buku Sekolah Elektronik (BSE), yaitu:
BSE Internet, BSE CD, dan BSE Cetak atau Buku Murah. Buku-buku teks
yang lolos dalam penilaian tetapi tidak dijual kepada atau dibeli oleh
Pemerintah diterbitkan hanya dalam bentuk cetakan di atas kertas
(konvesional) dan disebut Buku Layak atau Buku Teks Layak.
BSE
Internet adalah buku teks layak (bermutu) yang diunggah ke internet
sengan maksud dapat diunduh oleh siapa pun baik untuk dibaca di computer
maupun untuk dicetak dalam jumlah terbatas. Buku jenis ini disediakan
untuk mengantisipasi keterbatasaan sediaan buku cetak di pasar. Sampai
saat ini telah tersedia 940 judul BSE Internet yang dapat diakses oleh
masyarakat.
BSE CD adalah buku layak (bermutu) yang isinya sama persis dengan BSE Internet namun disediakan dalam bentuk cakram padat (compact disk).
BSE CD disediakan dengan maksud agar percetakan, penerbit, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten atau kota, dan pihak-pihak lain yang
tergerak membantu penyediaan buku teks dapat menggandakannya baik dalam
bentuk Buku Cetak maupun dalam bentuk data elektronik (ke dalam hard disk, flash disk, floppy disk, CD, dsb.) secara masal. Jumlah judul/jilid BSE CD sama persis dengan jumlah BSE Internet.
BSE
Cetak adalah buku teks layak (bermutu) yang isinya sama-persis dengan
BSE Internet maupun BSE CD namun disediakan dalam bentuk cetakan di atas
kertas dalam bentuk buku konvensional. Singkatnya, BSE Cetak adalah BSE
CD yang dicetak.
Karena
hak ciptanya dimiliki Pemerintah, harga jual eceran tertingginya
(HET-nya) ditentukan oleh Pemerintah. HET rata-rata BSE Cetak berkisar
dari Rp 6.000,- sampai Rp 20.000,-. Karena harganya terjangkau, BSE
Cetak juga disebut Buku Murah atau Buku Teks Murah. Setiap orang atau
badan hukum di Indonesia diperbolehkan mencetaknya berapa pun jumlahnya
(baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk dijual di pasar) namun
harus mencantumkan beberapa hal yang dipersyaratkan, yaitu: (a) harga
eceran tertinggi; (b) logo BSE; dan (3) keterangan bahwa hak cipta buku
tersebut dimiliki oleh Pemerintah.
Buku
Layak atau Buku Teks Layak adalah buku yang telah lolos penilaian dan
dinyatakan layak oleh Menteri namun hak ciptanyanya tidak dijual kepada
atau dibeli oleh Pemerintah. Buku tersebut diperbanyak, didistribusikan,
dan dijual kepada masyarakat oleh penerbit, distributor, dan toko buku
secara mandiri. Pemerintah tidak ikut serta dalam proses penentuan harga
jual buku-buku tersebut.
Namun,
langkah-langkah bagus dari pemerintah itu nyaris tidak membuahkan
hasil. Kebijakan nasional yang peluncuran programnya dilakukan oleh
pejabat negara setingkat Presiden itu pun dikalahkan kepentingan sesaat:
demi mengejar fulus.
Fakta
di lapangan menunjukkan bahwa buku ajar yang yang banyak dipakai di
sekolah-sekolah di Bandarlampung adalah buku-buku terbitan swasta
yang belum tentu melewati penilaian BSNP. Pihak sekolah banyak
memakai buku terbitan penerbit swasta karena mendapatkan fee yang lumayan besar.
Dengan
kesombongannya seorang pejabat bisa mengatakan bahwa buku-buku BSE
tidak berkualitas. Para guru pun banyak yang masih salah kaprah dalam
menilai kualitas buku ajar. Umumnya para guru memilih buku ajar
sebagai pegangannya adalah buku yang sampulnya ada tulisan “Sesuai
dengan KTSP 2006.” Padahal, kalau bicara soal standard, seharusnya buku
ajar yang dipilih seharusnya adalah buku yang sudah dinilai oleh BSNP.
Jangan
pula karena alasan sudah mendapatkan setoran rutin dari penerbit
tertentu, oknum Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah mengatakan bahwa
buku-buku BSE tidak bermutu dibanding buku-buku terbitan penerbit
pemberi fee itu. Artinya, Kepala Sekolah dan pejabat Dinas
Pendidikan semestinya tetap mempertimbangkan daya beli siswa. Kalau
buku-buku terbitan penerbit terkenal itu mahal, seharusnya jangan
memaksakan siswa agar membelinya. Percayalah para orang tua siswa
sebenarnya juga tahu ada ‘permainan’ dalam jual-beli buku dari penerbit
tertentu itu. (Tim/Oyos Saroso H.N.)
Sumber: http://www.koaklampung.org/component/content/article/25-kasus/68-di-balik-batu-keraguan-kualitas-bse-.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar